Aturan ”Sosialisasi”, Setelah 1,5 Bulan Peserta Pemilu Ditetapkan

Hingga 1,5 bulan setelah penetapan parpol peserta Pemilu 2024, pengaturan soal wilayah abu-abu sosialisasi belum kunjung disahkan.

Partai politik peserta Pemilu 2024 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 14 Desember 2022. Hingga 1,5 bulan kemudian, Senin (30/1/2023), pengaturan soal wilayah abu-abu jeda antara penetapan parpol peserta pemilu dan masa kampanye pada 28 November 2023-10 Februari 2024 masih belum kunjung disahkan. KPU masih membahas draf aturan terkait sosialisasi ini dengan berbagai pihak.

Di tengah belum adanya pengaturan soal batas-batas sosialisasi itu, sejumlah partai politik beserta bakal calon anggota legislatif (caleg), bahkan bakal calon presiden (capres), mulai intens melakukan sosialisasi. Balihoterpampang di mana-mana. Sejumlah tokoh nasional juga sudah melakukan safari politik, di tengah belum ditetapkannya mereka sebagai calon peserta pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Hal ini lantas menjadi polemik. Durasi kampanye yang lebih pendek dibandingkan Pemilu 2019 juga dijadikan alasan. Mereka beranggapan sosialisasi harus dilakukan lebih awal sebagai upaya pengenalan lebih luas kepada publik.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan, peraturan KPU (PKPU) tentang kampanye sesungguhnya sudah ada. Namun, jika KPU ingin merevisinya, Komisi II DPR akan menunggu draf tersebut untuk kemudian dibahas bersama antara penyelenggara pemilu dan pemerintah.

”Nah, kita tunggu bagaimana ikhtiar dan cara berpikir KPU yang ingin diajukan ke Komisi II DPR dengan mengajukan draf PKPU yang baru terkait dengan penertiban curi start kampanye yang memungkinkan dilakukan oleh para calon, baik capres maupun caleg, yang sekarang menurut saya fenomenanya sudah mulai dilakukan di masyarakat kita,” ujar Rifqinizamy saat dihubungi di Jakarta awal Januari lalu.

Ia menyadari, ada beberapa hal yang memang harus diantisipasi melalui PKPU tentang sosialisasi yang baru, termasuk upaya menyiasati kampanye di ruang digital yang sekarang sudah semakin tidak bisa dihindari. Salah satu persoalan dalam konteks kampanye di ruang digital adalah penegakan hukumnya.

Karena itu, PKPU terkait sosialisasi harus segera disampaikan KPU kepada DPR sebelum masa kampanye dimulai atau selambat-lambatnya pada awal masa sidang tahun ini, yang dimulai 10 Januari 2023. Dengan begitu, pada jeda 10 bulan, sampai waktunya masa kampanye resmi pada 28 November 2023 nanti, semua pihak bisa segera mendapatkan kepastian.

”Komisi II juga membutuhkan waktu yang cukup leluasa untuk melakukan pembahasan, termasuk kami akan memanggil para pakar, para ahli, dan menyosialisasikannya kepada publik. Ini agar kemudian aturan ini tidak eksklusif, tetapi kemudian menjadi ruang terbuka untuk kita diskusikan bersama,” tutur Rifqinizamy.

 

Waktu kampanye pendek

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, berpendapat lain. Menurut Guspardi, KPU harus bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya dan fokus terhadap tahapan pemilu yang sudah dijadwalkan. Dengan begitu, KPU tidak perlu lagi mengatur hal-hal yang berada di luar tahapan.

”Jadi, jangan kasus tertentu dijadikan upaya-upaya untuk mengubah PKPU. Harus dilihat pula, kapan kekuasaan KPU mulai berlaku? Itu ketika seseorang sudah menjadi calon,” ucap Guspardi.

Ia melihat KPU terlalu reaktif dalam menyikapi situasi yang berkembang belakangan ini. Padahal, apa yang dilakukan sejumlah tokoh nasional, begitu pula anggota DPR atau DPRD lain, adalah melakukan sosialisasi. Karena itu, tidak perlu ada aturan dan pembahasan mengenai hal tersebut. Lagi pula, hal itu bukan ranah yang diatur di Undang-Undang Pemilu.

”Orang melakukan sosialisasi, kan, belum tentu dia itu calon. Jadi, jangan terlalu reaktif. Kalau KPU bekerja bukan pada ranah tanggung jawabnya, justru itu bisa menimbulkan kegaduhan. Bekerjalah secara profesional, sesuai aturan yang berlaku,” ujar Guspardi.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Syaiful Huda sependapat dengan Guspardi bahwa sejauh belum ada penetapan calon, baik caleg maupun capres, semua yang dilakukan saat ini masih bersifat sosialisasi, bukan kampanye.

”Ketika seseorang belum ditetapkan sebagai apa pun, itu tidak bisa dikategorikan sebagai kampanye karena belum definitif. Nah, sesuatu yang dianggap kampanye, kan, ketika sudah definitif dan sudah dapat nomor,” katanya.

Karena itu, ketika masih dalam tahap sosialisasi, Huda menilai, kegiatan apa pun yang dilakukan parpol atau calon tertentu justru seharusnya dilihat dalam perspektif membantu kerja sosialisasi KPU. Apalagi, sebagaimana diketahui, dengan tenggat kampanye yang sangat terbatas, jangan sampai berbagai substansi, misalnya menyangkut gagasan, ide, dan platform perjuangan yang ingin dibawa oleh calon tertentu, tidak tersampaikan dengan baik ke publik.

Huda juga mulai membandingkan situasi sekarang dengan Pemilu 2019. Kala itu, durasi kampanye terhitung lebih panjang dibandingkan Pemilu 2024. Durasi kampanye pada Pemilu 2019 bisa mencapai 209 hari atau tujuh bulan. Dengan durasi yang sangat panjang itu saja, ia berpandangan, parpol masih merasa belum cukup, apalagi saat ini dengan durasi kampanye yang makin pendek.

”Jadi, kalau kita tempatkan pada konteks tenggat kampanye, itu enggak cukup. Nah, karena itu, perlu diluberkan. Diluberkan itu, menurut saya, hari-hari ini dan ke depan menjadi ruang yang lebih baik dimanfaatkan dan KPU tidak perlu membuat aturan yang rigid dan sifatnya tidak boleh. Semua ini harus dilihat dalam konteks menuju pemilu yang lebih bermakna dan kualitatif,” ucap Huda.

Memastikan prinsip keadilan

Aturan mengenai sosialisasi partai di luar masa kampanye pemilu hingga kini masih dalam pembahasan oleh KPU bersama sejumlah penyelenggara pemilu, mulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Bahkan, KPU juga menggandeng sejumlah lembaga kuasi negara lainnya, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Semua sepakat membentuk tim teknis.

Komisioner KPU, Idham Holik, menegaskan, aturan teknis itu nantinya akan berbentuk surat keputusan KPU, bukan PKPU. Alasannya, dalam UU Pemilu tidak pernah diatur mengenai tahapan sosialisasi pasca-penetapan parpol. Untuk diketahui, pertengahan Desember 2022 lalu, KPU telah menetapkan 18 partai politik dan enam parpol lokal menjadi peserta Pemilu 2024.

”Nah, kalau hari ini kami mengatur tentang sosialisasi parpol peserta pemilu pasca-penetapan parpol, itu karena memang ada tradisi di KPU untuk mengatur hal tersebut, dilakukan sejak Pemilu 2004. Mengapa kami harus mengatur? Dalam rangka memastikan prinsip keadilan bagi parpol untuk melakukan sosialisasi,” ujar Idham.

Saat ditanyakan lebih lanjut apakah dalam aturan teknis nanti juga akan diatur soal audit penggunaan dana sosialisasi layaknya masa kampanye, menurut dia, hal tersebut belum didiskusikan secara detail di tim teknis. Namun, hal itu akan dijadikan sebagai masukan. KPU akan membawanya ke dalam forum rapat teknis.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari menambahkan, saat ini semua pihak tengah membangun cara pandang yang sama tentang bagaimana status parpol setelah penetapan sebagai peserta pemilu. Semua bersepakat bahwa partai dapat melakukan sosialisasi, tetapi hanya boleh sebatas identitas partainya, yakni seputar tanda gambar partai, nama partai, nomor urut partai, dan visi-misi partai.

Berikutnya, jika harus memasang foto, yang diperbolehkan adalah foto ketua umum dan sekretaris jenderal partai untuk di tingkat pusat. Lalu, untuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanya diperbolehkan memasang foto ketua dan sekretaris pengurus partai di tingkatan daerah tersebut.

”Kenapa nama, foto ketua umum dan sekjen, serta ketua dan sekretaris di provinsi, kabupaten/kota itu penting ditampilkan? Karena beliaulah sebagai personifikasi partai yang akan mendaftarkan calon kepada KPU supaya publik tahu bahwa beliau-beliau ini adalah pimpinan partai politik yang akan menandatangani dokumen pencalonan yang akan diantarkan kepada KPU,” tutur Hasyim.

Terkait pemasangan identitas partai, hal itu di antaranya bisa berbentuk bendera serta baliho dan bisa pula disebarluaskan di media sosial yang tidak berbayar. Namun, yang dilarang adalah memasangnya di media elektronik, konvensional, atau media penyiaran, karena belum waktunya.

Adapun berkaitan dengan pemasangan baliho, ini tentu harus tunduk pada aturan di pemerintah daerah masing-masing. Ia menegaskan, hal yang tidak diperbolehkan adalah calon yang memasang foto dan namanya dengan latar belakang tanda gambar partai, entah menyebut sebagai calon DPR, DPRD, atau apa pun. Itu belum diperbolehkan karena belum saatnya. Lagi pula, pendaftaran calon juga belum dimulai sehingga mereka tak bisa menyebut dirinya sebagai calon.

Selain itu, hal yang dilarang adalah ajakan memilih karena salah satu esensi kampanye adalah ajakan. Adapun sekarang ini belum memasuki masa kampanye.

KPU dan Bawaslu hingga saat ini masih mendiskusikan soal sanksi bagi yang melanggar aturan teknis sosialisasi tersebut. Aturan ini nantinya akan disosialisasikan kepada setiap pimpinan parpol. KPU akan bersurat kepada mereka agar hal tersebut dapat diteruskan ke pengurus parpol di tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Seiring dengan itu, KPU juga akan menyosialisasikannya kepada jajaran KPU provinsi, kabupaten/kota. Harapannya, semua memiliki cara pandang yang sama.

 

Kritik bagi partai

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah berpandangan, situasi gelagapan yang dialami partai sekarang ini seharusnya menjadi kritik bagi aktor elektoral dan parpol itu sendiri. Parpol kerap kali baru hadir jelang hajatan pemilu.

Usulan untuk memperpendek masa kampanye ini sebenarnya adalah evaluasi dari pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu, masa kampanye dianggap terlalu panjang dan berkontribusi terhadap penguatan polarisasi politik dan identitas.

Jika bicara soal durasi kampanye, substansi masalahnya sebenarnya bukan berapa lama waktu yang ideal. Problem mendasar penguatan polarisasi dan politisasi identitas pada Pemilu 2019 adalah kandidat dan partai kerap menyampaikan hal-hal yang nir-programatik.

Artinya, mereka tidak punya program dan tawaran yang jelas sehingga strategi yang digunakan untuk menjaga emosi dan militansi pemilih adalah menggunakan politisasi identitas. Jika para kandidat masih menerapkan model kampanye seperti itu, perpendekan durasi masa kampanye pun tidak akan banyak berpengaruh.

”Sekarang saja bisa dilihat di medsos, upaya untuk memainkan identitas sudah mulai dilakukan oleh buzzer. Jadi, ada pengulangan yang dilakukan. Dalam konteks itu, durasi masa kampanye tidak terlalu signifikan,” ucap Hurriyah.

Kemudian, berbicara soal aturan, Hurriyah melihat celah regulasi itu akan selalu ada karena UU yang dipakai juga masih sama. Misal, regulasi kampanye yang melarang adanya kampanye SARA. Terlihat sekali, katanya, regulasi yang dimiliki tidak pernah mampu menjangkau aktor-aktor pelaku politik identitas. Padahal, pada praktiknya, kelompok-kelompok seperti buzzer, tokoh masyarakat, dan tokoh publik banyak digunakan untuk menggaungkan narasi identitas.

”Tetapi, regulasi kita tidak mengatur itu. Jadi, celah regulasi itu masih ada sampai sekarang dan akan selalu dimanfaatkan oleh aktor-aktor elektoral,” ujarnya.

Tak berhenti di sana. Masalah serius juga ada dalam penegakan hukumnya. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya tidak adanya mekanisme sanksi yang jelas serta regulasi yang memiliki cara pandang normatif.

Para regulator, baik penyusun aturan KPU dan aturan Bawaslu, selalu mengasumsikan kepatuhan para aktor elektoral. Padahal, regulasi itu seharusnya sejak awal sudah bisa memetakan potensi-potensi pelanggaran yang akan terjadi dan itu dikunci di dalam aturan.

Hal ini perlu menjadi pelajaran dalam pembentukan aturan sosialisasi di luar masa kampanye nanti. Tugas KPU dan Bawaslu sebagai regulator adalah membuat peraturan, bukan sekadar membuat imbauan. Karena itu, KPU dan Bawaslu jangan terjebak pada tataran normatif.

KPU dan Bawaslu tidak perlu khawatir apabila aturan yang dibuat nanti dianggap tidak berlandaskan UU Pemilu. Sebab, produk UU tersebut memang tidak berubah, sementara situasi dan kondisi riil terus berubah. Hal ini menuntut pengaturan baru dari KPU dan Bawaslu. Hurriyah meyakini, sejauh aturan itu mengakomodasi partisipasi dan masukan publik, legitimasi aturan akan menjadi lebih kuat.

”Waktu dulu saja, misalnya, KPU pernah kok berani mengatur soal caleg mantan narapidana koruptor. Jadi, buat saya, nonsense kalau KPU dan Bawaslu sekarang tidak berani membuat langkah-langkah progresif dalam menyusun aturan soal sosialisasi di luar masa kampanye. Ini soal willingnessdan keberanian saja kok,” tuturnya.

Jika hal tersebut tidak dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, celah regulasi akan selalu ada. Kemudian, pengaturan serta penegakannya juga akan terus lemah. Alhasil, aktor elektoral akan selalu bermain di wilayah abu-abu. Apalagi jika nanti penyelenggara pemilu tidak bertindak profesional dalam memastikan equal treatmentpada semua aktor elektoral. Hal ini bisa berbahaya dan akan memunculkan persepsi publik bahwa KPU dan Bawaslu tidak netral.

Hurriyah juga menuturkan, dalam konteks politik, hal-hal yang belum diatur oleh UU atau regulasi teknis pemilu secara hukum memang diperbolehkan. Namun, ia mengingatkan, hal-hal yang tidak diatur oleh hukum dan regulasi itu masuk dalam wilayah etik.

”Publik akan tahu bagaimana kualitas moral politisi kita dari cara mereka memperlakukan etik tersebut. Jadi, kita bisa menunjuk banyak pihak, ada regulasi, regulator, dan aktor-aktor elektoral, yang mereka itu selalu mengabaikan soal etika tadi karena memanfaatkan lemahnya regulasi kita,” ucapnya.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/01/07/aturan-sosialisasi-setelah-15-bulan-peserta-pemilu-ditetapkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *