Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Regulasi yang ditetapkan 20 Mei 2020 itu mewajibkan pekerja menjadi peserta Tapera dengan besaran iuran 3 persen terdiri dari 2,5 persen ditanggung pegawai/pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja. Sejak awal program Tapera mendapat krtitikan banyak pihak terutama kalangan pekerja dan pengusaha.
Anggota Komisi V DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan UUD Tahun 1945 mewajibkan negara menghadirkan tempat tinggal bagi warga negara, terlebih bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tapera ini didasarkan pada asas gotong royong sebagai ikhtiar membangun solidaritas diantara peserta.
Meski begitu, dia mengakui momentum pembentukan PP No. 25 Tahun 2020 diterbitkan pada saat kurang tepat dimana seluruh elemen bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Walaupun, masa pemberlakuan iuran Tapera bagi ASN baru diberlakukan 1 Januari 2021 yang akan datang, serta masih ada waktu maksimal 7 tahun bagi mereka yang bekerja di sektor swasta untuk memenuhi kewajiban pembayaran iuran ini.
Rifqi mengingatkan kewajiban pelaksanaan dan penyelenggaraan Tapera merupakan amanah dari UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. “Persoalannya, ketentuan lebih lanjut dari UU ini baru diterbitkan 4 tahun kemudian yaitu di tahun 2020 ini melalui PP No. 25 Tahun 2020,” ujar Rifqi saat dikonfirmasi, Minggu (14/6/2020). (Baca Juga: Program Tapera Fokus pada Kepesertaan ASN)
Lebih lanjut, Politisi Fraksi PDI Perjuangan ini menyatakan dasar berpikir hadirnya ketentuan tentang Tapera, paling tidak ada dua hal. Pertama, Tapera adalah implementasi asas gotong royong, saling membantu, solidaritas sebagai sebuah bangsa. Mereka yang berpunya memberikan subsidi atau bantuan kepada mereka yang belum berpunya dalam rangka pemenuhan hak-hak mereka untuk mendapatkan perumahan.
Kedua, negara dengan segala macam ikhtiarnya harus membuktikan (menjamin) kebutuhan dasar (basic need) berupa sandang, pangan, dan papan. Dalam konteks Tapera adalah kebutuhan papan, bisa dipenuhi oleh negara dengan berbagai skema. “Untuk itu, Tapera yang diatur dalam PP 25 Tahun 2020 sebetulnya ingin memastikan dua hal itu,” kata dia.
Dia menerangkan pola penghimpunan dana seperti program Tapera sebagai bagian dari jaminan sosial sudah lazim dilakukan di beberapa negara. Misalnya, di Singapura ada CPF (Central Provident Fund); di Malaysia ada KWSP (Kumpulan Wang Simpanan Pekerja); di Korea Selatan, program serupa adalah NHUF (National Housing and Urban Fund). Program itu sudah terintegrasi dalam sistem jaminan sosial nasional pada negara masing-masing.
“Dana Tapera akan dikelola oleh Bank Kustodian dan Manajer Investasi berdasarkan kontrak investasi dan mengacu pada UU. Peserta sebagai individual investor dapat mengakses laporan perkembangan dana masing-masing setiap saat. Aktivitas Bank Kustodian dan Manajer Investasi diatur dan diawasi oleh OJK,” jelasnya.
Lalu, mereka (Bank Kustodian dan Manajer Investasi) wajib melaporkan kegiatannya kepada BP Tapera secara periodik. Hasil pengelolaan dana Tapera diaudit secara tahunan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dan dipublikasikan melalui media massa secara berkala setiap tahun. Jadi, setiap peserta dapat memantau dana yang diinvestasikan.
“DPR tak akan tinggal diam, jika ada indikasi, terlebih bukti penyelewengan dana Tapera. Saya ingatkan sejak awal kepada semua pihak, terutama BP Tapera agar tak bermain-main dengan dana ini, termasuk jika menginvestasikannya yang sangat high risk dan dapat merugikan rakyat. Kasus Jiwasraya harus kita ambil pelajarannya. Negara harus sangat hati-hati soal ini,” ujar legislator daerah pemilihan Kalimantan Selatan I ini mengingatkan.
Dia juga mengingatkan pentingnya penataan data guna mengefektifkan dana Tapera. “Saya menginginkan, Kementerian PUPR sebagai leading sector dari perumahan rakyat harus memiliki data yang solid terkait ASN, TNI, Polri, Karyawan BUMN dan BUMD atau mereka yang penghasilannya dikutip melalui program Tapera,” usulnya.
Dengan data itu, lanjutnya, subsidi APBN bagi perumahan subsidi bisa perlahan dikurangi. Tapera akan menjadi sharing dana dengan subsidi yang diberikan melalui APBN baik melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau subsidi dana bergulir, selisih suku bunga (SSB), dan melalui skema yang lain.
“Pada titik tertentu, subsidi APBN ke depan hanya fokus kepada masyarakat kita yang belum ter-cover Tapera,” katanya.
Keberatan buruh dan pengusaha
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal memberi empat catatan. Pertama, pemerintah menyiapkan program Tapera dalam bentuk rumah melalui BUMN yang ditunjuk dengan uang muka 0 persen agar tidak memberatkan. Dengan begitu, pemerintah dapat menetapkan harga rumah yang murah. “Bukan pekerja menabung kemudian disuruh membeli rumah sendiri,” kata Said.
Kedua, iuran Tapera tak boleh memberatkan pekerja/pegawai. Said menilai besaran iuran peserta Tapera bagi buruh sebesar 2,5 persen dan pengusaha 0,5 persen agar direvisi. Menurutnya pekerja yang seharusnya dikenakan iuran sebesar 0,5 persen, sementara perusahaan 2,5 persen. KSPI juga mengusulkan bunga angsuran harus disubsidi negara, sehingga bunga angsuran menjadi 0 persen. Sementara lamanya angsuran diperpanjang menjadi minimal 30 tahun agar harganya menjadi lebih murah.
Ketiga, peserta Tapera adalah pekerja yang tidak memiliki rumah dengan upah berapapun. Bagi Said, tanpa harus ada batasan upah minimal, pekerja yang menerima upah minimum sekalipun, berhak ikut dalam program Tapera. Sementara peserta Tapera adalah pekerja yang tidak memiliki rumah. “Jadi program ini benar-benar diperuntukkan bagi pekerja agar bisa memiliki rumah,” katanya.
Keempat, pelaksanaan program diawasi secara ketat. Menghimpun dana dari kalangan buruh/pekerja hal krusial. Karena itu, dibutuhkan pengawasan ketat oleh badan pengawas yang terdiri dari buruh, pengusaha, dan pemerintah. “KSPI berharap, sebelum dijalankan, PP No 25 Tahun 2020 dilakukan revisi terlebih dahulu,” pintanya.
Sementara Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi, mengatakan sejak awal Apindo menolak UU No.4 Tahun 2016 tentang Tapera, khususnya terkait pasal yang mengatur tentang kepesertaan dan iuran wajib bagi pekerja dan pengusaha. “Apindo dan dunia usaha konsisten seperti pendapat awal kita menolak skema Tapera termasuk menolak PP-nya. Ketika UU No.4 Tahun 2016 ini dibahas kami sudah bersurat ke Presiden dan DPR bahwa kita menolak ada tambahan iuran bagi pengusaha dan pekerja,” kata Agung belum lama ini.
Agung menegaskan bukan berarti Apindo menolak perumahan bagi pekerja, tapi skema pembiayaannya jangan membebani pengusaha dan pekerja. Agung memberi contoh program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) sudah memberi manfaat layanan tambahan (MLT). Salah satunya berupa pinjaman uang muka perumahan. Program MLT ini menggunakan 30 persen (Rp 90 triliun) dari dana JHT. Dana ini dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan pekerja.
Ketimbang menggulirkan Tapera, Agung mengusulkan pemerintah untuk fokus membenahi dan memperkuat pelaksanaan MLT ini. Jika menggunakan skema Tapera, beban yang ditanggung pengusaha dan pekerja semakin berat. Seperti diketahui, untuk saat ini iuran yang harus dibayar untuk program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek lebih dari 11 persen. Jika ditambah Tapera, maka beban iuran yang harus ditanggung mendekati 15 persen.
“Ini di luar beban lainnya yang ditanggung pengusaha, seperti kenaikan upah minimum setiap tahun yang besarannya sekitar 8 persen dan cadangan pesangon pekerja,” keluhnya.
Sumber: klik disini