Jakarta – (VanusNews) Komisi II DPR RI sudah membentuk 2 Panitia Kerja (Panja) terkait dengan permasalahan mafia tanah di Indonesia.
Pertama adalah Panja Pemberantasan Mafia Tanah, yang sudah dibahas lebih dari 2 kali masa sidang. Kedua adalah Panja Pengukuran Ulang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Penggunaan Lainnya yang saat ini sedang bekerja di Komisi II DPR RI.
Demikian diungkapkan Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda saat menjadi narasumber Diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Mengawal Instruksi Jokowi: Gebuk Mafia Tanah” di Ruang Diskusi Media Center, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Rifqi menyatakan, kesadaran itu dibangun, karena dalam konteks fungsi konstitusional pengawasan yang dilakukan DPR RI, seringkali ditemukan fakta bagaimana termarjinalkannya rakyat kecil.
“Tanah mereka tiba-tiba diserobot atas haknya oleh kelompok tertentu, belum tentu juga kelompok tertentu itu adalah korporasi besar, kerap kali juga ini terjadi antar masyarakat, karena misalnya ketidak beresan pengadministrasian, kacau balaunya data dan seterusnya dan seterusnya,” ujar Rifqi.
Yang tidak kalah penting dan cukup fenomenal menurut Rifqi, saat ini semakin banyak korporasi nakal di negeri ini, khususnya di Riau
“Mereka mendapatkan HGU 1.000 tapi kemudian menanam sawitnya 5.000, sehingga di Riau itu totalnya ada 1,7 juta hektar lahan di luar HGU, di luar kawasan hutan yang ditanami sawit, bertahun-tahun memiliki tentu impact ekonomi yang sangat besar dan karena dia tidak memiliki HGU dan legalitas tanah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dia tidak memberikan kontribusi kepada pendapatan negara,” jelas politisi PDI Perjuangan ini.
Menurut Rifqi, hal ini sangat korelatif dengan kasus yang sekarang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung) RI dan sebelumnya ditangani oleh KPK yaitu kasus PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu,
Rifqi menyebut, total lahan yang disinyalir di luar HGU ada 36.000 hektar dan kerugian negaranya dalam rilis terakhir Kejakgung RI sebesar Rp101 triliun.
“Dari mana angka Rp101 triliun, itu dihitung dari PNBP yang tidak masuk ke negara, selama bertahun-tahun artinya kalau 36.000 itu setara dengan Rp101 triliun maka satu koma juta, itu anda tinggal alihkan berapa nilai kerugian negara dan itu baru di satu provinsi bernama Riau,” ulas Rifqi.
Kalau kita bicara Indonesia, lanjut Rifqi, maka tentu jumlahnya bisa jadi hampir 100 juta hektar yang bermasalah seperti ini.
“Kita tahu ada masalah ini tapi kemudian kita belum mampu keluar dari persoalan, karena memang persoalan ini harus melibatkan multistakeholder, multi kementerian lembaga dan keinginan yang kuat dari semua pihak,” tegas Rifqi.
Rifqi mengaku dirinya agak sedikit kecewa dengan Kementerian ATR/BPN saat ini lantaran kementerian tersebut mengajukan anggaran sekitar Rp7 triliun untuk tahun 2023 tetapi pendapatan dari PNBP hanya sekitar Rp2 triliun.
“Saya bilang harusnya kementerian ini malu kalau setiap tahun mengeluh hanya karena tidak dapat APBN, karena mestinya kementerian ini adalah salah satu kementerian yang mampu memberikan sumbangsih pendapatan negara yang besar, kalau kita serius mengurusi bukan hanya reformasi agraria, tapi reformasi terhadap kementerian ATR/BPN itu sendiri,” ungkap Rifqi.
Oleh karena itu, harap Rifqi, di forum yang baik ini mari semua pihak mencari solusi bagaimana caranya agar bangsa ini bisa keluar dari persoalan-persoalan agraria ini.
“Saya berterima kasih kepada aparat penegak hukum khususnya Kejakgung yang membukakan mata kita semua terkait dengan penggunaan lahan di luar HGI yang kerugian negaranya menurut saya cukup fantastis bahkan oleh KPK ini disinyalir sebagai korupsi terbesar dari republik ini sepanjang sejarah pasca reformasi,” pungkas Rifqinizamy Karsayuda.