Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mendorong perevisian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang memberi mandate penghapusan tenaga honorer atau Non ASN sampai dengan tenggat November 2023 mendatang. Hal ini menurutnya, demi menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal sekaligus memberikan kepastian kepada rakyat Indonesia.
”Saya kira dari waktu yang kurang dari 6 bulan ke depan, sampai dengan tanggal 28 November 2023, di mana PP No. 49 tahun 2018 memberikan norma kepada kita untuk menghapus seluruh pegawai Non-ASN, PP itu perlu kita revisi dengan segera. Agar principal guidance yang disepakati oleh banyak pihak, termasuk masukan dari DPR agar tidak ada PHK massal itu segera mendapatkan kepastian kepada anak bangsa. Saya mendorong ini adalah kado untuk lebaran Idul Fitri 1444 Hijriah dari pemerintah untuk rekan-rekan honorer di Indonesia,” jelas Rifqi dalam rapat kerja Komisi II dengan MenPAN RB Abdullah Azwar Anas di Senayan, Jakarta, Senin (10/4/2023).
Seiring dengan itu, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini meminta intervensi digital yang telah dilakukan MenPAN RB bisa dikembangkan untuk mendata jumlah tenaga honorer dan memastikan dasar hukum pengangkatannya. ”Jangan sampai, day to day, setiap hari terlalu mudah para pejabat di republik ini, yang sebenarnya tidak memiliki alas yuridis untuk menjadikan seseorang honorer itu ngangkat honorer, yang akan menjadi beban terus menerus, siapapun menterinya dan siapapun yang duduk di komisi II DPR RI ini, dari periode ke periode,” sambungnya.
Rencana penghapusan honorer ini juga, menurut Rifqi bertentangan dengan visi presiden terkait UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). ”Kenyataan bahwa ada kondisi objektif di beberapa lembaga, lebih dari 50% tenaga non-ASN yang menyokong Kementerian lembaga untuk menjalankan tugas dan fungsinya, ambil contoh Kementerian PUPR, diseluruh balai-balai di Indonesia, hampir 50% adalah pegawai non-ASN. Kalau kemudian kita hapuskan (honorer) berdasarkan PP nomor 49 tahun 2018 maka visi presiden termasuk undang-undang RPJPN kita itu nggak jalan,” terangnya.
Untuk itu, Rifqi meminta MenPAN RB bersikap tegas pada honorer yang tidak terdata dan memfokuskan pada intervensi digital, yang dinilainya dapat mencegah pertumbuhan honorer yang tak terkendali. ”Saya kira intervensi digital bisa membantu kalau memang dia tidak ada di database, dan tidak diotorisasi oleh kementerian RB dan BKN, maka dia bukan tenaga non-ASN yang di acceptance oleh negara. Karena kalau tidak, hari kita bicara 2,3 juta, besok hari akan menambah menjadi 2,5 juta jadi 2,7 juta akhir tahun jadi 3,5 juta,” jelasnya.
Dikahir, Legislator Dapil Kalimantan Selatan I ini meminta MenPAN RB untuk bisa membedah postur 2,3 juta formasi honorer yang ada saat ini, namun kemudian harus bisa tetap memperhatikan fresh graduate karena mereka juga memiliki hak yang sama dalam dunia kerja di birokrasi negara.
”Oleh karena itu karena itu 2,3 juta, posturnya harus kita bedah, maka saya mendorong, untuk tidak takut untuk kemudian tidak populer, untuk tidak men-acceptance mereka yang tidak linier dengan kebutuhan birokrasi kita. Karena itu juga hak bagi kawan-kawan yang lain di luar Non ASN untuk masuk dalam birokrasi kita, dan itu adalah tanggung jawab kita Sebagai penyelenggara negara,” tutupnya.