REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, pemungutan suara secara elektronik atau e-voting sempat menjadi pembahasan untuk diterapkan pada pemilihan umum (Pemilu) 2024. Namun, hal tersebut terkendala waktu dan infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di banyak wilayah Indonesia.
Kendati demikian, e-voting bisa saja digunakan untuk pemilihan umum berikutnya pada 2029. Namun, penerapannya membutuhkan banyak kajian dan pertimbangan, seperti pemerataan teknologi informasi yang terlebih dahulu harus dilakukan oleh pemerintah.
“Belum meratanya infrastruktur teknologi informasi di Indonesia dan berbagai macam hal-hal lain yang harus dipersiapkan terkait dengan persoalan tersebut,” ujar Rifqi saat dihubungi, Jumat (3/6/2022).
Pada Pemilu 2024, ia menjelaskan, penyelenggaraannya akan menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Sistem tersebut digunakan membantu percepatan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mempublikasikan hasil penghitungan suara.
“KPU, Bawaslu, Komisi II DPR RI, pemerintah dan DKPP sepakat bahwa seluruh sistem informasi yang sekarang existing ada digunakan KPU Bawaslu akan dipertahankan,” ujar Rifqi.
Anggota Komisi II Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, e-voting memerlukan banyak kajian dan pertimbangan sebelum digunakan dalam pemilu selanjutnya. Selain itu, dibutuhkan pula payung hukum dalam penerapan e-voting berbasis blockchain seperti yang diusulkan oleh Partai Ummat.
Kendati demikian, ia menyambut baik usulan tersebut yang disebut dapat menghemat anggaran hingga Rp 90 triliun. “Idenya bagus, tapi tanpa revisi UU Pemilu kurang kuat dasar hukumnya. Plus harus ada kajian untuk bertahap dengan e-rekap,” ujar Mardani.
Sebelumnya, Partai Ummat mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu 2024 dilakukan secara elektronik atau e-voting berbasis blockchain. Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menuturkan, pemilihan e-voting dinilai mampu mengantisipasi sejumlah permasalahan yang sering muncul selama penyelenggaraan pemilu.
Salah satunya, mencegah pembengkakan anggaran pemilu. Menurutnya, proses dari pemungutan suara, rekapitulasi suara, hingga penyetorannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) membutuhkan banyak tenaga dan anggaran.
Selain itu, ada pengeluaran untuk kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang membutuhkan anggaran yang tak sedikit. “Selain masalah pelanggaran, banyaknya petugas yang dibutuhkan, lamanya proses penghitungan berjenjang, dan yang meninggal karena kelelahan, mekanisme pemilu sebagaimana dijelaskan di atas berimplikasi terhadap kebutuhan biaya yang sangat tinggi,” ujar Ridho di Kantor DPP Partai Ummat, Jakarta, Kamis (2/6/2022).