TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Dewan Pakar Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Muhammad Rifqinizamy Karsayuda angkat bicara terkait usulan dimajukannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Sejatinya Pilkada digelar tanggal 27 November 2024 sesuai ketentuan UU No.10 Tahun 2016, namun muncul usulan dimajukan menjadi bulan September 2024.
Secara pribadi, Rifqi mengakui sejak awal menyarankan dilakukan Perppu, karena ada situasi kegentingan yang memaksa jika tahapan Pilkada baru dilakukan pada 27 November 2024, dimana pada sisi yang lain pada tanggal 31 Desember 2024, seluruh masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 akan habis.
“Itu artinya per 1 Januari 2025, sejatinya harus diganti kepala daerah-kepala daerah definitif hasil Pilkada pada tahun 2024, jika tidak, kita harus menunjuk Penjabat. Nah, kalau Pilkadanya baru 27 November 2024, maka pelantikan baru bisa dilakukan pada Februari atau Maret 2025, itu artinya per 1 Januari 2025 kita akan memiliki banyak sekali Penjabat Kepala Daerah, itu akan terus berulang nanti pada 2029, 2034 dan seterusnya,” katanya kepada wartawan seperti dikutip pada Selasa (26/9/2023).
Padahal, sambung Rifqy, penjabat hanya hadir pada saat sekarang ini, karena ada situasi kegentingan yang memaksa itulah maka Perppu relatif dapat diterbitkan oleh Presiden untuk mengajukan jadwal Pilkada itu.
“Kita tunggu bagaimana solusi yang akan dikeluarkan Presiden, karena hasil kesepahaman itu akan dibicarakan lebih lanjut pada wilayah apakah akan dilakukan perubahan pada UU itu atau akan ada Perppu. Prinsipnya, Pilkada akan dimajukan pada September 2024,” tuturnya.
Sebelumnya, Rifqy saat duduk di Komisi II DPR RI pada Januari tahun 2022 pernah menyampaikan pendapatnya agar Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait jadwal Pilkada Serentak 2024.
Dia menilai Perppu tersebut diperlukan untuk mengantisipasi berbagai potensi kekacauan hukum terutama hukum administrasi masa jabatan kepala daerah.
“Pemungutan suara Pilkada 2024 idealnya dilaksanakan sebelum bulan November 2024 dengan mempertimbangkan sejumlah masalah dan jeda waktu yang cukup antara pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 yang diusulkan KPU yaitu 21 Februari. Hasil Pileg harus memiliki kepastian hukum agar dapat dijadikan syarat pendaftaran calon kepala daerah dari jalur partai politik,” kata Rifqi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/1/2022).
Rifqi mengungkapkan beberapa alasan mengapa perlu dikeluarkannya Perppu terkait jadwal Pilkada 2024. Pertama, jadwal Pilkada 2024 di bulan November memiliki konsekuensi pelantikan kepala daerah terpilih baru bisa dilaksanakan secepat-cepatnya pada Januari 2025.
Perkiraan jadwal pelantikan tersebut, belum termasuk jika terjadi sengketa administrasi, pidana maupun perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga jeda waktu yang dibutuhkan akan bertambah panjang sekaligus penuh ketidakpastian.
“Selain itu, nomenklatur surat keputusan pengangkatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 menegaskan masa jabatannya pada periode 2021-2024 sehingga secara normatif berakhir selambat-lambatnya pada 31 Desember 2024,” ujarnya.
Kedua, tambah Rifqi, pemerintah harus menyiapkan sebanyak 270 Penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 31 Desember 2024.
Kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2022 dan 2023 telah diisi Pj kepala daerah terlebih dahulu hingga memiliki kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
“Pengisian Pj kepala daerah di 542 daerah itu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah karena akan menyedot energi sejumlah pejabat Eselon I dan II di pemerintahan untuk melaksanakan tugas ganda,” ujarnya.
Ketiga, sambung Rifqi, Pilkada 2024 yang dilaksanakan November merupakan sebuah pekerjaan rumah bagi presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2024.
Sehingga dirinya menilai, Pilkada 2024 akan membuat pemerintahan yang baru terbentuk pada Oktober 2024 langsung menghadapi tugas berat yaitu pemungutan, penghitungan suara termasuk potensi sengketa hasil pilkada dan berbagai potensi pasca-tahapan.
“Karena itu Perppu menjadi solusi yuridis ketatanegaraan di tengah telah disepakatinya ketiadaan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” katanya seraya menyarankan isi Perppu tersebut juga harus mengisi berbagai kekosongan hukum, pertentangan norma dalam UU, dan berbagai ketentuan lain untuk menghadirkan pilkada serentak lebih ideal.