ANGGOTA Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda angkat bicara soal polemik dugaan pasal ‘seludupan’ pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru di UU Nomor 8 Tahun 2022.
“SAYA tegaskan kita (DPR RI) tidak berkepentingan dengan apapun itu judicial review UU Provinsi Kalsel ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ucap Rifqinizamy, usai menjadi narasumber sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk Pemilu 2024 kepada jejakrekam.com di kediamannya, Jalan Perdagangan, Banjarmasin, Rabu (23/8/2022).
Dia menegaskan DPR RI bekerja sesuai fungsi konstitusional, menggodok dan membahas hingga menetapkan UU termasuk UU Kalsel yang telah disahkan itu. Menurut Rifqi, ketika UU Provinsi Kalsel Nomor 8 Tahun 2022 telah disahkan menjadi produk hukum nasional maka setiap warga negara harus menaatinya.
“Termasuk, ketika ada warga negara menggunakan hak konstitusi mengajukan judicial review ke MK, ya kita hormati. Sepanjang belum ada putusan MK terkait uji materiil atau formil terhadap UU Provinsi Kalsel. Makanya, secara norma hukum masih eksis hingga detik ini ibukota Kalsel yang sah adalah Banjarbaru,” tegas mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Ia menegaskan dirinya bukan membela diri karena ternyata UU Provinsi Kalsel digugat Walikota Ibnu Sina dan Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya ke MK, termasuk perwakilan warga dan Kadin Kota Banjarmasin.
“Yang dijudicial review itu adalah UU Kalsel, bukan DPR RI. Jadi, dalam posisi ini, DPR RI bukan pihak tergugat atau termohon. Jadi, pihak termohon itu adalah UU itu sendiri,” beber Rifqi.
Menurut dia, pihak DPR RI juga telah memberi keterangan sebagai kuasa hukum dalam sidang di MK diwakili anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan. “Dalam pandangan DPR RI berdasar pandangan pada pokoknya, kami menyakini UU Provinsi Kalsel sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Rifqi.
Lantas lulusan sarjana hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini membandingkan kedudukan UU Kalsel saat perpindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, juga tidak melanggar UUD 1945. “Itu sudah dibuktikan di MK. Bahkan, MK menolak semua permohonan judicial review yang diajukan warga terkait UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara (IKN),” tegas Rifqi.
Ia mengaku optimistis gugatan terhadap UU Provinsi Kalsel akan ditolak oleh MK. Sebab, hal itu bukan persoalan subtansial negara. Rifqi beralibi tidak ada perubahan apapun terkait pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru, seperti aspek keuangan yang berasal dari pemerintah pusat lewat APBN.
Mengenai gugatan judicial review bernomor perkara 58, 59, 60/PUU-XX/2022 atas UU Provinsi Kalsel, Rifqi berpendapat tidak ada pertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Termasuk, tudingan tak prosedural juga ditepis Rifqi.
“Kalau misalkan tidak perlu UU (pemindahan ibukota Kalsel karena hanya berdasar peraturan pemerintah), mestinya tidak perlu (menggugat) ke MK. Kan, UU Provinsi Kalsel yang baru itu merubah norma UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Masya, kita mengubah norma isi dalam UU Nomor 25 Tahun 1956 cukup dengan Peraturan Pemerintah?” cecar Rifqi.
Kenapa saat penggodokan UU Provinsi Kalsel tak melibatkan pihak Banjarmasin sebagai yang berkepentingan? Rifqi menjawab bahwa tidak ada kewajiban bagi pemerintah dan DPR RI saat menyusun UU harus bertanya ke pemerintah daerah.
Dia menganalogikan saat membikin norma soal kesejahteraan janda dan duda, apakah harus bertanya kepada yang bersangkutan.
“Anda kalau dibikin, Anda untung atau rugi? Yang pasti, dalam pembuatan UU Provinsi Kalsel, kami sudah menyerap aspirasi gubernur, karena gubernur merupakan representasi dari pemerintah pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, tentu gubernur yang diminta untuk berkoordinasi dan seterusnya,” urai Rifqi.
Menurut dia, sebenarnya pengguna utama dari ibukota Provinsi kalsel ketika tahun 2010 adalah DPRD Kalsel dan Gubernur Kalsel, karena rasio delegasinya justru telah memindahkan seluruh bangunan perkantoran dari Banjarmasin ke Banjarbaru menggunakan dana APBD.
“Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir ini. Kita ini melanggar hukum, kenapa Gubernur Kalsel justru berkantor di Banjarbaru, padahal ibukota ada di Banjarmasin. Kemudian, giliran Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Banjarmasin juga berpusat di Banjarbaru,” katanya.
Padahal, beber Rifqi, dalam UU Mahkamah Agung menegaskan bahwa Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Tinggi Agama itu harus berkedudukan di ibukota provinsi.
“Nah, pilihan ekstrem adalah ubah saja pasalnya agar semua tidak melanggar hukum, sehingga semua perkantoran (Pemprov Kalsel, PT dan PTA) kembali ke Banjarmasin, bukan di Banjarbaru karena melanggar UU,” tegas Rifqi.
Dirinya pun mengaku sudah berbicara dengan Ketua MA (Dr H Muhammad Syarifuddin) bahwa keberadaan PT Banjarmasin dan PTA itu melanggar UU. Karenanya itu, DPR RI akhirnya mengambil sikap.
“Sekali lagi ibi bukan soal sejarah, bukan rasa. Saya sendiri nyaman tinggal di Banjarmasin. Ini soal konsistensi kita bernegara, ada sejumlah aturan hukum yang bilang begini. Seperti Pengadilan Tinggi Agama berkedukan di ibukota provinsi,” kata Rifqi beranalogi.
Dia pun meminta agar segera menghentikan polemik soal pemindahan ibukota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru. Sebab, Rifqi berpendapat tidak ada yang dirugikan ketika ibukota Kalsel berpindah dari Banjarmasin.
“Saya tidak bisa jadi politisi yang manis-manis. Saya ini juga akademisi apa adanya. Jadi, polemik yang ada lebih baik disudahi. Jangan cari popularitas dari polemic ini. Tidak ada yang dirugikan, apakah karena Banjarbaru itu jadi ibukota Kalsel kemudian dapat dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) lebih besar,” kata Rifqi.
Dia pun menantang siap beradu argumentasi dalam forum resmi demi menyudahi polemik tersebut. “Ayo kita beradu (argumentasi), jangan dustai rakyat. Tidak ada dampaknya dari pemindahan ibukota provinsi itu,” pungkas mantan aktivis HMI Yogyakarta ini.