REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan, secara konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) menguji norma undang-undang terhadap norma Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Karenanya, putusan MK itu harus dinormakan dalam bentuk perubahan undang-undang.
Dalam hal ini juga termasuk putusan MK terkait dicabutnya kewenangan DPR dalam menyusun daerah pemilihan (dapil) dan alokasi kursi untuk DPR dan DPRD. Di mana hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang digugat oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
“PKPU adalah turunan teknis dari undang-undang, dalam hal ini undang-undang kepemiluan. Karena itu, saya kira apa yang disampaikan oleh MK itu akan berlaku ke depan,” ujar Rifqi saat dihubungi, Rabu (21/12/2022).
Namun untuk saat ini, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Pemilu. Di dalamnya mengatur soal dapil dan alokasi kursi, termasuk bagi empat daerah otonomi baru (DOB) Papua.
“Jika diberlakukan sekarang, norma itu sudah terlanjur diimplementasikan. Dapil sudah ditata sedemikian rupa dan Perppu terbaru itu yang setara dengan undang-undang juga menentukan tentang dapil dan jumlah kursi,” ujar Rifqi.
Kendati demikian, Komisi II disebut menghormati putusan MK terkait kewenangan penyusunan dapil yang kini diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun di sisi lain, sudah adanya aturan terkait dapil tersebut untuk Pemilu 2024.
“Saya kira DPR sangat menghormati putusan MK dan karena itu agenda ke depan adalah perubahan norma. Terkait dengan putusan MK, namun di sisi lain kita juga harus hormati bahwa sembilan partai politik di DPR sudah sepakat bahwa dalam Pemilu 2024 tidak ada perubahan norma UU 7/2017,” ujar Rifqi.
“Kita akan laksanakan ini (revisi UU Pemilu) InsyaAllah di 2029,” sambung politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Khususnya Pasal 187 Ayat 5 dan Pasal 189 Ayat 5 undang-undang tersebut.
MK pun mengubah Pasal 187 Ayat 5 menjadi berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU”.
Kemudian, Pasal 189 Ayat 5 diubah menjadi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur di dalam Peraturan KPU”.
Sebelum putusan tersebut, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menggugat pasal tersebut menjelaskan, penataan alokasi kursi dan pembentukan dapil oleh DPR dalam UU Pemilu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan daerah pemilihan. Utamanya prinsip keterwakilan atau representativeness.
Akibat dari sudah ditentukannya jumlah alokasi kursi dan dapil tersebut dalam lampiran III dan IV UU Pemilu, berdampak pada disproporsionalitas alokasi kursi. Dari 575 kursi DPR, hanya 17 provinsi yang memiliki keberimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR ke Provinsi, sedangkan provinsi lainnya mengalami kekurangan kursi (under represented) dan terdapat provinsi yang memperoleh kursi berlebih (over represented).
Sumber: https://www.republika.co.id/berita/rn8nd1423/legislator-komisi-ii-hormati-putusan-mk-soal-dapil