TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kini tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan itu diketok MK atas permohonan yang dilayangkan mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II DPR RI M. Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, sangat menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat atau final and binding.
“Termasuk terkait dengan putusan MK soal Putusan DKPP yang kini tidak bersifat final dan mengikat,” kata pria yang akrab disapa Rifqi saat dihubungi, Rabu (30/3/2022).
Riqfi menambahkan, bahwa kini DPR dan pemerintah tentu harus menindaklanjuti putusan MK ini, dalam revisi UU terkait dengan Pemilu.
“Agar kemudian putusan MK ini mengikat dari sisi norma,” sambungnya.
Politisi Partai PDI Perjuangan menambahkan, berdasarkan putusan MK ini, dimana amanah dari UU no.7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait keberadaan badan peradilan khusus pemilu termasuk di dalamnya adalah aspek kode etik dari kepemiluan itu menjadi sangat penting untuk dilakukan.
“Dan karena itu, ini adalah hal yang positif nanti akan diteruskan DPR dan Pemerintah dalam rangka melakukan revisi terhadap UU tentang Pemilu itu sendiri,” jelasnya.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013 menjadi salah satu pertimbangan MK mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Evi Novida Ginting Malik dan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Arief Budiman dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan inti permohonan yang diajukan para Pemohon adalah frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 17/2017 yang dalam penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.
Sehingga putusan DKPP dimaksud telah menimbulkan akibat hukum.
Oleh karenanya, DKPP menafsirkan bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun termasuk diuji ke Pengadilan TUN.
Hal tersebut, kata Suhartoyo menurut para Pemohon tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 dan menyebabkan DKPP menjadi lembaga yang superior karena tidak memiliki mekanisme checks and balances.
Maka, lanjut dia, terhadap dalil pokok para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sejumlah hal di antaranya bahwa terkait dengan permohonan tersebut Mahkamah sebelumnya pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011 tentang Pamilu dalam putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013 tanggal 13 April 2014.
Pasal tersebut, kata dia, mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Terhadap frasa final dan mengikat ini Mahkamah melalui Putusan MK 31/PUU-XI/2013 menjatuhkan putusan yang di antara amarnya menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan tersebut sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.
Selain itu, dalam amar putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013
juga diputuskan bahwa frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan tersebut sepanjang tidak dimaknai “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”.
Kemudian, lanjut dia, pembentuk UU menyatakan tidak berlaku UU 15/2012 dengan berlakunya UU 7/2017.
Namun, kata dia, norma yang mengatur Putusan DKPP bersifat final dan mengikat tetap dipertahankan oleh UU 7/2017 yang diatur dalam pasal 458 ayat (13) UU 2017 yang dimohonkan pengujian dalam perkara yang diajukan Evi dan Arief.
MK mempertimbangkan bahwa permohonan tersebut dapat diajukan kembali.
Hal tersebut karena meskipun Pasal 458 ayat 13 UU 7/2017 mengatur norma yang sama dengan Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 jika mendasarkan pada Pasal 60 UU 8/2011 jo pasal 78 ayat (2) Peraturan MK nomor 2/2021 yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.