JAKARTA, PALPOS.ID – Wacana Ubah KPU dan Bawaslu Jadi Badan Ad Hoc: Penjelasan Ketua Komisi II DPR RI.
Wacana perubahan status Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi badan ad hoc kembali mencuat.
Ide ini muncul karena dianggap lebih efisien, mengingat tugas utama kedua lembaga tersebut hanya signifikan saat penyelenggaraan pemilu.
Namun, wacana ini menimbulkan beragam pendapat, baik dari legislatif maupun penyelenggara pemilu sendiri.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menjelaskan bahwa penentuan status KPU dan Bawaslu harus didasarkan pada model pemilu yang akan diimplementasikan.
Menurutnya, model pemilu harus ditentukan terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah kedua lembaga tersebut akan dijadikan badan permanen atau ad hoc.
“Soal ad hoc atau tidaknya, ya kita lihat nanti. Kita sepakati dulu model pemilunya, apakah tetap seperti sekarang atau ada perubahan. Setelah itu, baru kita bisa menentukan status KPU dan Bawaslu,” kata Rifqi dalam sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024).
Menurut Rifqi, ide menjadikan KPU dan Bawaslu sebagai badan ad hoc cukup masuk akal, terutama untuk level provinsi dan kabupaten/kota.
Namun, ia menekankan bahwa status ad hoc sulit diberlakukan untuk KPU RI.
Hal ini karena KPU RI memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar menyelenggarakan pemilu, seperti melakukan evaluasi, berkoordinasi dengan DPR, serta merumuskan regulasi.
“Kalau untuk KPU RI, saya kira harus tetap permanen. Karena tugas di tingkat pusat itu bukan hanya soal menyelenggarakan pemilu, tetapi juga mengevaluasi pelaksanaan, melakukan koordinasi dengan DPR, dan membangun regulasi seperti PKPU (Peraturan KPU) atau Peraturan Bawaslu. Tugas ini tidak bisa dilakukan secara ad hoc,” ujar Rifqi.
Wacana menjadikan KPU dan Bawaslu sebagai badan ad hoc, lanjutnya, sejauh ini belum menjadi sikap resmi DPR.
Ide ini masih berada dalam tahap diskusi awal di kalangan beberapa fraksi partai politik.
“Dalam pengertian, karena prosesnya belum berjalan sejauh itu, kalau saya terlalu banyak bicara sekarang, takutnya menimbulkan kegelisahan publik yang tidak perlu,” tambahnya.
Sementara Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menanggapi wacana ini dengan sikap terbuka.
Ia mengakui bahwa diskusi tentang status ad hoc baru muncul setelah penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.
Menurut Afifuddin, jika wacana ini dianggap bermanfaat, pihak yang berkepentingan harus memastikan bahwa perubahan tersebut diatur dalam regulasi yang jelas.
“Kami sebagai penyelenggara tentu akan melaksanakan apa yang diamanatkan undang-undang. Kalau wacana ini dinilai baik, maka harus didorong agar masuk ke dalam aturan perundang-undangan,” kata Afifuddin.
Afifuddin juga menambahkan bahwa penyelenggara pemilu di semua tingkatan membutuhkan kejelasan status dan regulasi agar dapat bekerja secara optimal.
Ia berharap, apapun keputusan terkait status KPU dan Bawaslu, tidak mengurangi profesionalitas dan independensi kedua lembaga tersebut.
Sementara itu, beberapa fraksi di DPR menunjukkan pandangan berbeda terkait wacana ini.
Sebagian fraksi mendukung perubahan ke badan ad hoc dengan alasan efisiensi anggaran dan sumber daya manusia.
Namun, fraksi lainnya khawatir bahwa perubahan ini justru dapat mengurangi independensi penyelenggara pemilu dan meningkatkan risiko intervensi politik.
Di sisi lain, pakar tata negara menyatakan bahwa mengubah status KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc memerlukan revisi besar-besaran terhadap undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, diperlukan waktu dan proses adaptasi yang tidak singkat, terutama untuk memastikan tidak ada kekosongan kewenangan selama masa transisi.
Wacana perubahan status KPU dan Bawaslu ini memunculkan perdebatan mengenai efisiensi dan stabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.
Sebagai lembaga permanen, KPU dan Bawaslu dinilai memiliki stabilitas kelembagaan yang kuat, sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan pemilu yang semakin kompleks.
Namun, di sisi lain, status permanen juga dianggap membebani anggaran negara, mengingat sebagian besar tugas kedua lembaga ini hanya aktif pada saat menjelang dan selama pemilu.
Dengan berbagai pandangan yang berkembang, DPR masih perlu melakukan kajian mendalam sebelum mengambil keputusan.
Ketua Komisi II DPR, Rifqi, menegaskan bahwa apapun hasilnya, tujuan utamanya adalah menciptakan penyelenggaraan pemilu yang lebih efektif, efisien, dan tetap menjaga prinsip demokrasi.
“Yang pasti, kita ingin memastikan bahwa proses pemilu berjalan lancar, independen, dan sesuai dengan prinsip demokrasi. Apakah itu dengan status ad hoc atau permanen, semuanya harus dipikirkan secara matang,” pungkas Rifqi.