Banjarese.com, MARTAPURA – Menjelang pemilu, masyarakat kerap diajak turut berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait money politic atau “serangan fajar”, dengan harapan dapat melahirkan pemimpin yang kebijakannya berpihak kepada rakyat.
Juga seringkali pejabat lembaga pengawas pemilu maupun penegak hukum meminta masyarakat agar melaporkan jika menemukan tindak pidana politik uang.
Namun fakta di lapangan, hal tersebut tidak mudah dilakukan bagi masyarakat. Undang-undang pemilu menegaskan pemberi dan penerima uang suap politik keduanya dapat dipidana.
Aturan tersebut dinilai jadi batu sandungan bagi warga sebagai pengawas partisipatif dalam upaya menegakkan hukum, di tengah sosiologis masyarakat yang tidak tegaan terhadap sesama.
Contoh saja ketika ada tetangga atau keluarga yang menerima uang politik untuk memilih salah satu calon, jika dilaporkan sama saja dengan menjebloskan tetangga atau bahkan keluarga sendiri ke penjara.
Hal ini disampaikan oleh salah seorang peserta saat sesi tanya jawab kegiatan Sosialisasi Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten Banjar, yang digelar Bawaslu RI dengan narasumber Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda, di Martapura, Selasa (13/9) sore.
Rifqi menjawab, untuk menghilangkan praktik politik uang dalam pemilu mesti dimulai dari masyarakat itu sendiri selaku pihak yang paling menentukan terpilihnya pejabat politik.
Politisi PDI-P asal Kalsel ini menilai, adanya salah kaprah di masyarakat dalam menilai kriteria calon yang baik.
“Kebanyakan dari kita, alat ukur melihat pejabat itu dari apa yang dia beri (berupa materi), bukan dari kebijakan dan program yang dia keluarkan,” ujarnya.
Rifqi melanjutkan, di antara tugas dan kewenangannya di bidang legislasi dan penganggaran, ketika pergi ke pelosok sering diminta memperbaiki jalan yang rusak atau menyumbang untuk pembangunan tempat ibadah.
“Ketika ulun (saya) tidak membantu pasti disambati (disindir), ah Rifqi ini tidak berfaedah jua datang. Padahal saya kewenangan saya menganggarkan untuk jalan nasional. Untuk di Kalsel hampir satu triliun dianggarkan tiap tahun agar jalan nasional mulus semua. Tapi kan orang tidak melihat itu,” imbuhnya.
“Saya mohon maaf, kita ini masih membuat ukuran yang membuat politik dan pemilu ini kotor, apa pun dalilnya” sambungnya lagi.
Menurut, jika masyarakat tetap senang dengan kondisi seperti demikian, maka bagaimana pun sistem dibenahi dan sekeras apapun bawaslu bekerja, tidak akan dapat merubah apapun.
“Seperti apapun kita membuat undang-undang dan peraturan bawaslu, tidak bisa kita benahi. Karena ini sudah keinginan publik,” terangnya.
Rifqi pun mengaku ia merasa putus asa menghadapi pemilu serentak 2024 ini, sehingga ia tidak menyerahkan formulir mendaftar jadi calon DPR RI.
“Jujur ulun hopeless dihadapkan dengan sistem pemilu seperti ini,” terangnya.
Kemudian, terkait penerima uang politik yang dapat dipidana, ia mengupayakan dalam Perbawaslu yang baru akan ada justice collaborator.
“Jadi bagi penerima uang yang insaf dan siap memberi keterangan yang membantu penyidikan, ini akan diberikan keringanan hukum dari yang lain,” pungkasnya.
Pada kegiatan tersebut, hadir para staf Bawaslu RI, Anggota Bawaslu Kalsel Aries Mardiono, Kasek Bawaslu Kalsel Teuku Dahsya Kusuma Putra, Ketua Bawaslu Banjar Fajeri Tamjidillah serta seluruh komisioner. (Hdr)